Solidaritas di Tengah Pandemi: Belajar dari Korban Terorisme
Masyarakat global sedang disibukkan dengan pandemi Covid-19. Laporan terakhir situs worldometers (26/4), menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 telah memakan ratusan ribu korban meninggal dunia, dan hampir 3 juta orang terinfeksi di dunia. Hingga kini belum ada tanda-tanda kapan penyebaran virus akan berakhir. Apalagi belum ada vaksin yang ditemukan.
Yuval Noah Harari, sejarawan dan futurolog terkemuka abad ini menyebut kunci mengatasi pandemi Covid-19 adalah solidaritas di antara sesama. Dalam wawancaranya di laman dw.com ia mengatakan, bahaya terbesar bukan pada virus itu, walakin ketidakpercayaan di antara sesama umat manusia.
Baca juga Membudayakan Perdamaian
Pandemi Covid-19 adalah tantangan solidaritas antarnegara dan masyarakat global. Bila tidak ada solidaritas di antara sesama, boleh jadi konflik horizontal akan terjadi, termasuk pelbagai persoalan baru seperti kebencian pada negara lain lantaran tak mampu mengatasi persoalan dalam negeri.
Menurut Soerjono Soekanto (1967), solidaritas adalah rasa kebersamaan, kesatuan kepentingan, simpati, sebagai salah satu anggota dari kelas yang sama. Atau bisa diartikan perasaan atau ungkapan dalam sebuah kelompok yang dibentuk oleh kepentingan bersama.
Baca juga Makna Perdamaian
Kita masih beruntung memiliki solidaritas sosial yang tinggi. Beberapa kelompok masyarakat maupun individu mau menyodorkan bantuannya bagi mereka yang terdampak Covid-19. Nasib hidup sebagian masyarakat menjadi tak menentu lantaran pandemi. Kita berharap solidaritas sosial ini terus tumbuh untuk menyelamatkan mereka dari keputusasaan hidup.
Pandemi ini memberi peringatan bagi kita semua untuk lebih peka dan peduli pada kepentingan hidup orang lain. Bukan hanya urusan domestik, namun juga internasional. Seperti dikatakan oleh Harari, dunia pascapandemi menjadi tanggung jawab bersama masyarakat global.
Baca juga Pandemi dan Semangat Berbagi
Media sosial sebagai instrumen yang sangat memengaruhi cara pandang masyarakat mutakhir harus harus diisi informasi-informasi yang mendidik, membangun optimisme, dan melegakan sehingga tidak memicu kepanikan.
Belajar dari Korban Terorisme
Kita bisa bercermin dari solidaritas korban bom terorisme. Sejumlah korban dari pelbagai daerah di Indonesia kerap menggalang dukungan ketika teman-teman senasib mereka sedang terpuruk. Tak sedikit korban yang bangkit dari musibah karena dukungan dari sesamanya.
Baca juga Membangun Lingkungan Positif
Mereka membentuk forum atau komunitas untuk berbagi informasi serta saling mendukung dan menguatkan. Berkat solidaritas itu mereka tidak hanya sembuh dari penderitaan fisik maupun psikis. Lebih dari itu korban menunjukkan jiwa besarnya dengan memaafkan pelakunya. Semuanya muncul karena hasil solidaritas di antara korban.
Para korban sesungguhnya berhak untuk marah. Sebagian bahkan sempat ingin membalas dendam. Namun mereka lebih memilih membangun solidaritas dan kebersamaan, termasuk dengan mantan pelaku terorisme.
Baca juga Dukungan Komunitas untuk Kebangkitan Korban
Christian Salomo misalnya, salah seorang korban Bom Kuningan 2004. Pada awalnya ia merasa jengkel dan marah terhadap para pelaku pengeboman yang kebetulan muslim. Namun setelah mendapatkan dukungan dari rekan-rekannya yang beragama Islam, ia justru mengubur dendam itu dan memilih memaafkan pelakunya.
Sementara Susi Afriyani, korban bom Kampung Melayu, mengaku bangkit dan kembali bersemangat berkat dukungan dan solidaritas dari korban lain, khususnya dari komunitas-komunitas korban bom lain yang telah terbangun.
Baca juga Tiga Mantra Perdamaian