Perdamaian sebagai Fitrah
Tak lama lagi umat muslim sedunia akan merayakan Idul Fitri. Setelah berpuasa selama satu bulan dengan menahan segala bentuk hawa nafsu, tibalah saatnya umat Islam merayakan kemenangan. Tepat pada tanggal 1 Syawal, umat Islam kembali ke fitrah dalam kondisi penuh suka cita.
Menurut Quraish Shihab, ada tiga makna fitrah, yakni fitrah kepada kebenaran yang menghasilkan ilmu, fitrah kepada kebaikan yang menghasilkan etika, dan fitrah kepada keindahan yang menghasilkan seni. Perpaduan dari tiga fitrah inilah yang membuat kehidupan manusia menjadi damai.
Baca juga Tradisi Dialog dan Perdamaian
Semangat damai dalam Idul Fitri itu bisa dilihat dalam agenda silaturahmi yang sudah menjadi tradisi umat Islam di Indonesia. Biasanya, umat Islam melakukan mudik ke kampung halaman untuk menemui sanak keluarga. Pertemuan tersebut diwarnai dengan suasana yang damai, karena berlangsung proses saling maaf-memaafkan dan melupakan permusuhan di masa lalu.
Silaturahmi tidak hanya terbatas kepada keluarga saja, melainkan juga para kolega dan sahabat. Seiring dengan majunya teknologi komunikasi, kegiatan silaturahmi menjadi lebih mudah. Silaturahmi tidak hanya dilakukan secara langsung, melainkan juga bisa melalui platform media sosial, yang intinya tetap untuk bertegur sapa dan saling bermaaf-maafan.
Baca juga Self-Healing untuk Penyembuhan Luka Batin
Semangat damai yang terkandung dalam suasana Idul Fitri secara tidak langsung menegaskan bahwa kedamaian itu adalah fitrah manusia. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam keadaan suci, terbebas dari dosa yang menyakiti Sang Pencipta (maksiat kepada Allah) dan sesama makhluk. Dengan kata lain, pada dasarnya manusia adalah makhluk yang damai.
Hanya saja, dalam menjalani kehidupan ini, manusia seringkali tersesat di tengah jalan. Manusia seringkali takluk oleh hawa nafsunya sendiri. Sehingga tanpa disadari manusia keluar dari rambu-rambu yang telah ditentukan oleh Sang Ilahi. Adapun dalam hubungan antarsesama, manusia cenderung berselisih satu sama lain dikarenakan tingginya egoisme di dalam diri masing-masing.
Baca juga Membangun Ketahanan Keluarga: Belajar dari Bom Surabaya
Bahkan, manusia tidak segan-segan membawa perselisihan itu ke tingkat yang paling ekstrem, hanya untuk memuaskan keegoisannya. Bukti kongkritnya, peperangan demi peperangan terjadi di mana-mana. Sikap saling menghancurkan seperti menjadi budaya. Sungguh sangat disayangkan, mengingat hal ini menodai hakikat perdamaian itu sendiri. Manusia seolah lupa akan jati dirinya yang damai.
Jika ditanya dari hati ke hati, hampir dapat dipastikan tidak ada manusia yang senang berselisih. Karena perselisihan, dalam tingkat apapun, tidak memberikan kemaslahatan bagi kedua belah pihak. Perselisihan hanya akan menyusahkan diri sendiri. Tidak hanya menimbulkan dampak fisik, perselisihan juga tidak baik bagi ikatan emosional manusia karena dapat merenggangkan hubungan antarsesama. Padahal sebagai makhluk sosial, hubungan itu bagi manusia sangat tinggi nilai sakralitasnya.
Baca juga Fathu Makkah dan Spirit Perdamaian
Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita sebagai manusia selalu mengedepankan atau menyambut baik ajakan kepada perdamaian. Sebab, ajakan kepada perdamaian merupakan ajakan untuk kembali ke jati diri kita sebagai manusia. Perdamaian adalah cara untuk memelihara nyawa, harta, dan kehormatan.
Islam sebagai agama yang memelihara jiwa manusia, selalu mengedepankan perdamaian. Ini bisa dilihat dari Q.S. Al-Anfaal ayat 61 yang berbunyi; “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya (perdamaian itu) dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Mari kita jadikan momentum hari raya Idul Fitri ini untuk memperkuat tali persaudaraan di antara sesama dalam rangka mewujudkan perdamaian. Dengan begitu, manusia bisa kembali ke fitrahnya yang damai.
Baca juga Belajar Perdamaian dari Islandia