19/05/2020

Tradisi Dialog dan Perdamaian

Dialog berperan penting menjaga dinamika sosial, terutama untuk mencari jalan tengah seadil mungkin agar tidak ada pihak yang dirugikan. Perdamaian yang diimpikan akan terwujud bila kita mentradisikan dialog. Alih-alih kepada mereka yang belum tentu bersalah, dengan orang yang sudah divonis bersalah sekali pun dialog harus tetap dilakukan.

Dialog wajib diprioritaskan sebelum menentukan sikap. Hal itu penting agar setiap individu yang terlibat dalam persoalan dapat saling memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Menurut sejumlah pakar komunikasi, kehendak untuk memahami dan dipahami adalah bersifat imanen, artinya menyatu secara batin, baik dengan manusia ataupun dengan isi komunikasinya.

Baca juga Self-Healing untuk Penyembuhan Luka Batin

Dialog harus dilakukan dalam rangka mencari titik temu di antara perbedaan yang ada. Motif ini untuk menghindarkan terjadinya depolitisasi, di mana dialog dialihfungsikan dari musyawarah yang rasional menjadi perdebatan untuk memenangkan kepentingan kelompok elit. Depolitisasi bisa terjadi di ruangan publik mana pun, baik di ruang politik praktis, ruang ekonomi, bahkan ruang agama yang bersifat sosial (muamalah).

Dalam kelompok islamis –yang kerap dilabeli sebagai golongan antidialog— sekali pun sebenarnya banyak terjadi dialog rasional mengenai pelbagai topik, dari urusan tingkat RT hingga negara. Dialog itu masih berada dalam koridor akal sehat yang menghargai perbedaan. Namun ruang dialog itu kerap disalahgunakan oleh kepentingan tertentu atau depolitisasi. Segelintir orang memanfaatkan ruang tersebut untuk kepentingan di luar tujuan dari niat perjuangan murni. Dari situlah terjadi ekstremisasi.

Baca juga Membangun Ketahanan Keluarga: Belajar dari Bom Surabaya

Hal ini tergambar dari kisah Ali Fauzi Manzi, mantan pelaku terorisme yang telah insaf. Eks anggota Jamaah Islamiyah tersebut puluhan tahun berkecimpung dalam kelompok ekstrem. Ia seorang ahli bom yang pernah menjadi instruktur pelatihan militer di Mindanao, Filipina. Pada dasarnya ia meyakini bahwa perjuangan sebagian kalangan bertujuan menciptakan perdamaian, agar umat Islam bisa sejahtera dan maju.

Misi itu diakuinya sebagai salah satu faktor yang mendorongnya bergabung dengan kelompok ekstrem. Apalagi isu yang kerap diangkat adalah penderitaan umat Islam di beberapa negara muslim seperti Palestina dan Bosnia. Namun perjuangan tersebut dilakukan dengan cara yang tidak tepat, sementara Ali Fauzi tidak bisa membantah perintah pemimpin.

Baca juga Fathu Makkah dan Spirit Perdamaian

Hal tersebut terjadi karena struktur dalam tubuh kelompok ekstrem berwatak feodalistik, terlebih ada justifikasi agama yang tidak bisa ditolak, yaitu taat kepada pemimpin. Ruang sosial yang seharusnya bisa didiskusikan berubah menjadi ruang dominasi satu pihak.

Kisah lain juga dialami oleh Iswanto. Salah satu gurunya adalah Ali Imron, terpidana seumur hidup kasus Bom Bali 2002. Setelah diperintahkan untuk berhenti melakukan tindakan-tindakan kekerasan oleh Ali Imron, Iswanto patuh dan memutuskan keluar dari kelompok lamanya. Padahal dulu Ali Imron yang mendorongnya bergabung dengan kelompok ekstrem.

Baca juga Belajar Perdamaian dari Islandia

Faktor lain yang membuat Iswanto insaf adalah pendidikan dan cerita penderitaan korban terorisme. “Inspirasi saya keluar dari jaringan ini, saya sekolah lagi. Kemudian juga AIDA dan komunitas korban bom, saya banyak merenung ketika mereka (korban bom) menunjukkan video bagaimana mereka bangkit, padahal di antara mereka ada yang kehilangan kedua kakinya, ada yang kehilangan matanya,” tuturnya dalam kegiatan bersama AIDA.

Dalam pendidikan yang mengedepankan nalar kritis, argumen dan pemikiran kita diuji. Dalam situasi ini feodalisme tertolak. Sementara kisah korban membangkitkan empati kemanusiaan Iswanto. Dari proses tersebut ia menyadari bahwa apa yang dilakukannya dahulu tidak dibenarkan oleh agama. Masyarakat umum menjadi korban sehingga harus menderita, baik secara materiel maupun imateriel. Sementara agama melarang keras umatnya menimbulkan kerusakan.

Baca juga Tangguh Melawan COVID-19

Hal ini relevan dengan banyak penelitian ahli terorisme, bahwa sebagian besar mantan pelaku ekstrem mengalami perubahan karena faktor self correction atau self deradicalization. Perubahan tersebut meliputi dialog, baik bersifat verbal ataupun behavioral. Dialog tersebut menghasilkan disonansi kognitif yang mendorong orang berpikir ulang terhadap sesuatu yang sebelumnya mereka anggap negatif.

Pada dasarnya Islam juga menekankan pentingnya dialog. “Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan tutur kata yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS. An-Nahl: 125).

Namun yang luput dari kelompok islamis ekstrem adalah pada level praktis. Mereka memerjuangkan niat mulianya dengan cara yang salah. Walhasil menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat luas. Bagaimana pun mendahulukan perdamaian harus lebih diutamakan daripada harus mengorbankan nyawa satu orang tak bersalah.

Baca juga Solidaritas di Tengah Pandemi: Belajar dari Korban Terorisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *