Titik-Titik Balik Seorang Ekstremis

Aliansi Indonesia Damai – Indonesia menjadi lahan subur bagi tumbuh kembangnya ideologi ekstrem. Dimulai sejak Darul Islam (DI) pada tahun 1942 sampai dengan era Jamaah Ansharud Daulah (JAD) pada tahun 2015 (CSIS, 2018: 2). Kelompok-kelompok tersebut berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekstremisme berbasis agama. Mereka kerap menggunakan cara-cara kekerasan untuk mewujudkan cita-cita ideologis, yakni berdirinya negara Islam.

Penulis mengenal salah seorang yang pernah bergabung dengan kelompok ekstremis. Kurnia Widodo namanya. Pada masa mudanya, ia hidup nomaden mengikuti tugas dan aktivitas orang tuanya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Di salah satu kota yang pernah dia tinggali, salah seorang teman SMA mengajaknya bergabung ke dalam pengajian eksklusif yang belakangan diketahuinya berafiliasi dengan Negara Islam Indonesia (NII).

Baca juga Keinsafan Mantan Napiter: Terlibat dan Tobat Karena Keluarga (Bag. 1)

Selain diberikan bacaan-bacaan tentang kewajiban jihad, baik di Indonesia maupun luar negeri, Kurnia juga disuguhi cerita-cerita penindasan terhadap umat muslim di Moro Filipina dan Palestina. Pada masa itu juga sedang terjadi pertempuran antara Afghanistan dengan Uni Soviet. Kurnia merasa bangga ketika pasukan mujahidin Afghanistan berhasil mengusir tentara Uni Soviet.

Sekitar sepuluh tahun silam, sejumlah kelompok ekstremis berkolaborasi untuk mendirikan basis militer di pegunungan Jalin Jantho Aceh Besar. Mereka menggelar pelatihan militer lintas organisasi (tandhim). Tujuannya untuk berjihad ke negara-negara konflik seperti Palestina dan Afghanistan. Namun misi jangka panjang sesungguhnya adalah hendak mendirikan negara Islam di Indonesia. Kurnia nyaris bergabung ke dalam pelatihan tersebut, namun urung karena pelbagai sebab. Ia dan rekan-rekannya menggelar pelatihan perakitan bom di Bandung Jawa Barat.

Baca juga Keinsafan Mantan Napiter: Terlibat dan Tobat Karena Keluarga (Bag. 2-Terakhir)

Pelatihan militer di Aceh Besar terendus oleh aparat keamanan. Semua orang yang terlibat masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) kepolisian. Hampir pada saat bersamaan kelompok Kurnia juga berhasil dibongkar. Ia tertangkap dan harus menjalani hukuman penjara. Ketika di penjara, Kurnia diperingatkan oleh teman-temannya untuk tidak mengaji dan shalat bersama ustad-ustad di luar kelompok mereka.

Perlakuan baik petugas Lapas

Diam-diam Kurnia membelot dan membangkang atas larangan itu. Ternyata ia justru menemukan khazanah pengetahuan Islam yang baru dan berbeda dengan sebelumnya. Doktrin-doktrin kelompok ekstremis perlahan terbantahkan. Kurnia pun mulai berhenti membatasi diri. Ia kerap bersosialisasi dengan para petugas Lapas.

Petugas memerlakukannya dengan sangat baik. Menurut pengakuan Kurnia, sebagian petugas Lapas adalah orang-orang saleh, taat beribadah, dan mengayomi para narapidana. Mulai saat itu, Kurnia mengkritisi cara pandang kelompok ekstrem, khususnya sikap yang memandang kelompok di luar mereka sebagai orang-orang sesat, bahkan kafir.

“Ia secara tulus meminta maaf kepada korban karena pernah berada dalam kelompok yang juga menghalalkan aksi-aksi teror.”

Titik balik pemikiran Kurnia selaras dengan apa yang disebut Gaskey sebagai salah satu bentuk penciptaan perdamaian melalui hubungan jangka panjang yang tulus dan dapat dipercaya. Hubungan antarpribadi, perilaku lembaga yang terkait, penegak hukum, dan organisasi kemasyarakatan memainkan peran penting dalam pembentukan perdamaian (Gaskew, 2009: 360). Faktanya, berkat pergaulan yang baik antara Kurnia dan orang-orang di lingkungan Lapas ketika itu, pemikiran dan sikapnya perlahan melunak. Ia mulai bersikap terbuka dan selalu berpikir kritis ketika paham-paham yang kurang tepat masuk ke dalam pikirannya.

Setelah bebas dari Lapas, ia diundang ke salah satu perguruan tinggi. Dalam forum itu, ia melihat pengalaman, dampak, dan penderitaan salah satu korban bom terorisme. Kemanusiaannya tersentuh. Ia merasa bersalah meski tak pernah terlibat dalam aksi-aksi serangan. Sebelumnya ia tidak pernah berpikir dampak negatif akibat aksi-aksi kekerasan atas nama jihad. Ia secara tulus meminta maaf kepada korban karena pernah berada dalam kelompok yang juga menghalalkan aksi-aksi teror.

Baca juga Dulu Meracik Bom Kini Meretas Damai

Saat bergabung dengan AIDA, Kurnia semakin banyak bertemu dengan korban bom dari pelbagai peristiwa dan mendengar kisah demi kisah penderitaan mereka. Ia tak pernah segan untuk meminta maaf kepada masing-masing korban. Ia pun lebih peduli terhadap nasib para korban, terlebih mereka memaafkan perbuatannya tanpa ada dendam. Kurnia pun makin yakin bahwa ajaran-ajaran kelompok ekstrem tidaklah benar.

Sampai hari ini Kurnia Widodo masih menjadi duta perdamaian. Dia  membagikan pengalaman dan kisah kelamnya agar generasi penerus bangsa tidak jatuh ke dalam lubang kelam seperti yang pernah dialaminya.

Baca juga Kasih Sayang yang Tak Pantas Dinafikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *