02/06/2020

Berjuang untuk Sesama Korban Bom

Aliansi Indonesia Damai- Kamis, 9 September 2004 menjadi hari tak terlupakan bagi Sucipto Hari Wibowo. Ledakan bom yang terjadi di depan Kedutaan Besar Australia, Kuningan Jakarta Selatan mencederai fisiknya. Peristiwa menyedihkan itu seperti mengubah jalan hidupnya. Tanggung jawabnya bertambah; selain bekerja mencari nafkah untuk keluarga juga mengurusi komunitas korban terorisme.

Saat perawatan di rumah sakit, Sucipto melihat banyak korban lain yang mengalami dampak lebih parah darinya. Kondisi tersebut menumbuhkan kesadarannya untuk menemui para korban. Ia pertama kali menemui sopir bus Kopaja yang saat kejadian hampir menabraknya.

Baca juga Penderitaan Ganda Korban Terorisme

Saat bom meledak, sepeda motor yang dikendarainya jatuh terpental di tengah jalan. Sesaat berikutnya asap asap putih tebal mengepul menghalangi jalanan. Sucipto kehilangan kesadaran beberapa saat. Beruntung sopir bus tersebut membunyikan klakson sangat kencang hingga membuatnya tersadar.

Pertemuan dengan sesama korban memberi kekuatan baru baginya. Apalagi ketika melihat kondisi sejumlah korban, ia merasa bertanggung jawab untuk membantu, terlebih kepada mereka yang memiliki luka lebih parah.

Baca juga Korban Bom Kuningan Merasa Beruntung Saat Buntung

“Akhirnya, ada sedikit penguatan di saya. Saya nggak seberapa, teman-teman saya parah. Ada yang kehilangan mata, kehilangan rahang, kehilangan tengkorak. Ini juga ada banyak segala macam, (ada yang) sampai sekarang masih berobat dan itu yang membuat saya harus terus bisa membantu teman-teman sampai sekarang,” ungkapnya.

Sucipto menceritakan, ia turut memerjuangkan kelanjutan pengobatan bagi para korban. Waktu itu, semua pengobatan korban yang awalnya dibiayai oleh Kedutaan Australia akan dihentikan, padahal masih banyak korban yang harus terus berobat. Ada 120 korban yang diperjuangkan, meskipun kemudian hanya sekitar 13 korban yang disetujui.

Baca juga Memahami Rencana Tuhan

Kondisi teman-teman korban membuat Sucipto terpanggil untuk membantu dan memfasilitasi mereka semaksimal mungkin. Hingga saat ini, Sucipto masih terus aktif membantu para korban dan menyuarakan hak-hak mereka bersama Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) dan juga AIDA.

Bagi Sucipto, musibah bukanlah alasan untuk diam dan mengabaikan kondisi sekitar. Di mana pun posisi seseorang berada, akan selalu ada orang lain yang lebih membutuhkan pertolongan. Sucipto telah membuktikan bahwa dengan menolong sesama, kekuatan itu akan tumbuh seiring dengan besarnya rasa syukur.

Baca juga Meluaskan Jiwa Merangkul Luka

Dalam situasi pandemi seperti sekarang, berbagai macam kesusahan kita rasakan. Namun krisis ini seharusnya tidak menjadi alasan untuk berhenti membantu orang lain. Jika mampu bersikap bijak, justru hal tersebut bisa kita jadikan sebagai bahan untuk bersyukur dan melakukan refleksi.

Bersyukur karena bisa jadi kita lebih beruntung ketimbang yang lainnya, dan di sisi lain selayaknya susah yang kita rasakan menjadi pengingat untuk membuat orang lain tetap bahagia dengan membantunya keluar dari kesusahan. Alih-alih berdebat siapa yang merasa paling susah, bersikap seperti Sucipto tentu lebih bermanfaat.

Baca juga Refleksi 2 Tahun ‘Peristiwa Iman’ 13 Mei 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *