Proses Panjang Meninggalkan Ekstremisme
Kisah Mantan Kombatan Al Qaeda Asia Tenggara: Ali Fauzi Manzi
Oleh: Fikri
Master Ilmu Politik Universitas Indonesia
Rentetan bom meledak dengan sangat dahsyat di dua tempat dalam waktu berdekatan di Bali pada 12 Oktober 2002 silam, yaitu Paddy’s Club dan Sari Club. Beberapa bulan kemudian setelah aparat menginvestigasi peristiwa tersebut, terbukti bahwa pelaku pengeboman berafiliasi dengan kelompok Jamaah Islamiyah (JI). Bom seberat 1 ton lebih tersebut setidaknya telah mengakibatkan 202 orang meninggal dunia dan melukai ratusan lainnya, serta memorak-porandakan kawasan di sekitar 2 tempat tersebut.
Baca juga Pentingnya Ibroh Terorisme
Aksi Bom Bali tersebut menjadi babak baru fenomena terorisme di Indonesia sejak era reformasi. Pemerintah Indonesia segera membuat aturan/regulasi baru dan membentuk satuan khusus keamanan untuk memberantas tindak pidana terorisme. Seluruh elemen masyarakat bersatu padu melawan tindakan dan propaganda ekstremisme kekerasan yang mengatasnamakan agama, termasuk mantan pelaku terorisme, Ali Fauzi Manzi, adik dari tiga pelaku utama bom Bali. Ia memang sempat terjerumus ke dalam pemahaman dan bergabung dengan kelompok ekstrem. Namun saat ini ia telah berubah, meninggalkan kelompok yang dulu ia pernah terjun di dalamnya, dan beralih mempromosikan perdamaian di Indonesia, bahkan di berbagai forum internasional.
Rekam jejak ekstremisme
Sebelum bergabung dengan Jamaah Islamiyyah (JI), Ali Fauzi pertama kali berbaiat dengan Negara Islam Indonesia (NII) tahun 1991 di Malaysia, melalui salah satu pimpinan NII ketika itu. Tahun 1993 terjadi perpecahan antarpimpinan di NII, yaitu antara Abdullah Sungkar dan Ajengan Masduki. Abdullah Sungkar keluar dari NII dan mendirikan kelompok baru bernama Jamaah Islamiyah. Gerakan JI ini merupakan kelompok yang berafiliasi secara resmi dengan organisasi teroris internasional Al Qaeda, berdasarkan pernyataan Ali bahwa Usamah bin Laden menunjuk Ali Ghufron yang merupakan kakak dari Ali sebagai perwakilan resmi Al Qaeda Asia Tenggara.
Baca juga Belajar Zuhud dari Penyintas Bom
JI menjadi kelompok Salafi Jihadi pertama di Nusantara yang aktivitasnya meliputi Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia dan Thailand. Para kader JI sempat diutus ke Afghanistan untuk berlatih militer sejak tahun 1985. Kemudian tahun 1994 mereka kembali menyeleksi anggotanya untuk dikirim ke Mindanao, Filipina Selatan. Ali Fauzi termasuk anggota yang lolos seleksi tersebut. Mereka mendirikan kamp pelatihan di Akademi Militer Moro Islamic Liberation Front (MILF).
Motivasi JI mengutus Ali Fauzi dan yang lainnya ke Mindanao bukan hanya untuk membantu MILF berperang melawan pemerintah Filipina, tapi lebih dari itu. Mereka berlatih ilmu-ilmu militer, seperti merakit bom, menggunakan senjata api, mempelajari taktik perang gerilya, map reading, dan lainnya. Ilmu-ilmu tersebut nantinya akan digunakan untuk melawan pemerintah Indonesia. Keinginan tersebut bukan semata-mata kejahatan pada umumnya, namun ada latar belakang ideologi. Justifikasi atas nama jihad menjadi narasi utama sehingga banyak dari mereka tertarik melakukannya. Tujuan dari semua upaya ini tidak lain untuk mengubah negara menjadi negara Islam versi mereka.
Baca juga Menggelorakan Ketangguhan
“Karir” Ali Fauzi di dunia militer bersama JI cukup panjang. Ia memiliki keahlian dalam merakit bom. 3 tahun di kamp MILF, dia masuk anggota Special Elite Force For Demolation and Land Mines. Tugasnya yaitu merenovasi atau mereparasi bom yang tidak meledak. Tidak semua bom yang dijatuhkan pesawat militer Filipina meledak. Bom gagal tersebut ia ubah menjadi bom antitank atau antipersonal. Berdasarkan pengakuannya, ada 9 temannya meninggal ketika bertugas di satuan ini. Tahun 1998 Ali Fauzi kembali ke Indonesia. Pada tahun 1999 ia ditugaskan menjadi kepala instruktur field engineering JI wilayah Jawa Timur. Kemudian tahun 2000 sebagai kepala instruktur pelatihan militer milisi Ambon dan Poso dan melatih milisi Nusantara.
Tahun 2002, Ali Fauzi kembali berangkat ke Filipina dan menjadi kepala kamp militer di Mindanao yang kebanyakan dihuni oleh para DPO Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Akhirnya tahun 2004 ia ditangkap oleh apparat keamanan nasional Filipina dan dipenjara selama 2 tahun tanpa proses pengadilan. Ia merasa beruntung diekstradisi pemerintah Indonesia. Ia pulang ke Indonesia dalam keadaan sakit. Empat ruas tulang iganya patah. Ia dirawat selama satu bulan di Jakarta di bawah pengawasan aparat keamanan Indonesia.
Faktor pendorong dan penarik ekstremisme
Rekam jejak tersebut bukan tanpa dasar ideologi. Selama berkecimpung di kelompok ekstremisme, banyak doktrinasi yang melekat di kepalanya. Ajaran-ajaran kelompok ini menggunakan narasi dan nilai keagamaan, di mana agama memang sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Sehingga segala yang dilakukan oleh mereka dianggap bernilai ibadah lantaran memiliki justifikasi dalil Al-Qur’an dan Hadis.
Baca juga Dakwah Islamiyah untuk Perdamaian
Berdasarkan pengalaman Ali, ia bergabung dengan JI lantaran pada dasawarsa 80-90-an, terjadi sejumlah peristiwa kekerasan yang menimpa umat muslim di belahan negara lain, seperti Bosnia, Irak, dan Afghanistan. Hal tersebut menjadi salah satu trigger dan push factor keterlibatan dirinya dalam jaringan ekstremisme. Muncul dorongan untuk membela umat muslim yang mengalami ketidakadilan.
Adapun trigger lain menurut Ali bersifat pull factor, misalnya terkait pemahaman atau ideologi yang menyatakan bahwa sistem hukum dan politik di Indonesia melanggar aturan Islam, tidak berhukum kepada hukum Allah. Dampak pemahaman ini berujung pada pengkafiran terhadap sistem maupun aparat-aparat pemerintah. Konsekuensi yang lebih berbahaya selanjutnya ialah menghalalkan darah siapa pun yang menentang kelompok atau pemahaman mereka.
Baca juga Asep Wahyudi: Potret Ketangguhan Korban Bom Kuningan 2004
Selain dua faktor tersebut, hal lain yang membuat Ali Fauzi terlibat dalam jaringan ekstremisme yaitu friendship dan kinship (pertemanan dan persaudaraan). Sejumlah saudaranya terlebih dulu bergabung dengan kelompok NII, kemudian bergabung dengan JI. Bahkan ketiga kakaknya menjadi pelaku utama aksi Bom Bali 2002.
Proses panjang meninggalkan ekstremisme
Berkaca dari pengalaman Ali, bisa dipastikan butuh proses panjang sehingga Ali bisa meninggalkan kehidupan ekstremisme. Hal ini terjadi karena doktrinasi ideologi begitu kuat dan mengakar dalam hati dan pikirannya. Namun takdir berkata lain, sejak dirawat sampai sembuh setelah diekstradisi dari Filipina, Ali Fauzi secara perlahan mengalami perubahan. Banyak faktor yang membuatnya berubah.
Baca juga Ketika Penjara Justru Membuat Mantan Teroris Menjadi Lebih Ekstrem
Menurut dia, akar permasalahan terorisme di Indonesia tidak tunggal. Banyak faktor yang bisa membuat seseorang menjadi ekstrem, termasuk faktor perubahannya. Harus banyak aspek, perspektif, dan metodologi yang saling berkaitan satu sama lain. Ia mengibaratkan sebuah penyakit, ekstremisme termasuk penyakit yang sudah mengalami komplikasi. Butuh dokter spesialis dan juga kampanye pencegahan dari orang yang pernah mengalami “penyakit” ini.
Dalam kasus Ali Fauzi, terdapat 4 faktor penting, sehingga ia bisa keluar dari paham-paham kekerasan tersebut: Pertama, faktor friendship dan kinship, yaitu kakaknya, Ali Imron (terpidana seumur hidup dari tindak pidana Bom Bali I), dan rekannya di JI bernama Mubarok yang juga telah berubah terlebih dahulu.
Baca juga Beban Berlapis Korban Terorisme
Ketika Ali lebih dulu keluar dari penjara, kedua orang ini memberikan nasehat agar dirinya meninggalkan kelompok dan pemahaman ekstremisme tersebut. Kerugian lebih banyak timbul dibanding manfaatnya. “Lewat kakak saya, saya meninggalkan terorisme yang dulu pernah saya anut. Dua orang ini sangat berpengaruh pada kehidupan saya. Meskipun saat itu banyak sekali godaan yang datang, hingga mau dibayar untuk mengajarkan perakitan bom. Tapi kakak saya selalu menasehati saya,” ucapnya dalam salah satu kegiatan AIDA.
Kedua, peran pemerintah melalui Satgas Bom Polri. Ada semacam paradoks faktual ketika Ali kembali ke Indonesia. Ia sudah berprasangka akan dihukum, disiksa, dan semacamnya. Namun faktanya justru berbanding terbalik. Ia malah diobati dan dirawat di rumah sakit oleh aparat, diperlakukan dengan baik hingga sembuh. Tidak sampai di sana, pembinaan oleh aparat terus berlanjut dengan dibantu secara ekonomi dan integrasi sosial kepada masyarakat.
Baca juga Memaknai Pengayoman Dalam Pemasyarakatan
Ketiga, yaitu pendidikan. Dahulu pendidikan di Indonesia ia anggap sesat karena tidak mengajarkan pendidikan Islam. Pendidikan baginya sangat penting karena mampu meluaskan daya pikir kritis dan perspektif, serta menghilangkan kekakuan berpikir. Ia juga banyak belajar tentang keberagaman dan perbedaan. Semua itu Ali dapatkan ketika menyelesaikan jenjang S1, kemudian dilanjutkan pendidikan S2. Tesisnya mengangkat radikalisme di Indonesia. Karena Ali juga memiliki minat tinggi pada pendidikan, ia kembali melanjutkan program Doktoral (S3) di salah satu universitas swasta di Surabaya.
Terakhir, faktor korban. Kisah para korban aksi terorisme mampu memicu kesadaran mantan pelaku seperti dirinya. Ia baru menyadari bahwa dampak yang ditimbulkan dari pemahamannya dahulu sangat fatal bagi masyarakat umum. Dampak penderitaan fisik dan psikis yang begitu panjang. Semua itu membuatnya semakin kuat untuk meninggalkan kehidupan ekstremisme.
Baca juga Menggelorakan Ketangguhan
Ali sudah banyak bertemu dengan korban bom. Pertama kali bertemu dengan korban, ia menangis. “Hati saya teriris-iris. Saya tidak tahan. Ketika itu saya di Irlandia sempat menangis dua jam ketika dipertemukan dengan korban Bom J.W. Marriot. Seluruh muka dan tangannya hancur,” ucapnya.
Setiap kali bertemu dengan korban Bom Bali, di mana ketiga kakaknya berperan utama dalam aksi tersebut, Ali selalu meminta maaf atas kesalahan yang dibuat oleh saudara-saudaranya. Ia juga beberapa kali ikut hadir dalam peringatan Bom Bali yang dilaksanakan di Ground Zero, Bali, sebuah tugu peringatan yang menandai sejarah peristiwa kelam tersebut.
Baca juga “Ketangguhan Mental Para Penyintas dan Mantan Pelaku Terorisme”
Saat ini Ali bergabung dengan Tim Perdamaian yang digagas oleh AIDA untuk menyebarkan perdamaian melalui kisah hidup para korban dan mantan pelalu terorisme. Ia berharap masyarakat tidak lagi terpengaruh dengan ajakan-ajakan kekerasan agar kehidupan bisa berjalan aman, tenang, dan damai.
Baca juga Menghargai Kearifan Budaya