Ghirah Pemuda: Niat Baik Harus dengan Cara Baik
“Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Kita semua mungkin sangat familier dengan kalimat di atas. Kalimat tersebut dilontarkan oleh Sang Proklamator sekaligus Presiden Pertama Indonesia, Soekarno, yang menunjukkan betapa berharganya eksistensi para pemuda bagi sang tokoh, atau mungkin bagi perkembangan bangsa Indonesia.
Pemuda adalah tonggak peradaban yang sumbangsihnya tidak dapat diremehkan. Sedikit menengok ke belakang, di saat bangsa Indonesia masih menderita oleh kekejaman kolonialisme yang menghimpit di segala lini kehidupan, para pemuda membangun gerakan. Pemuda mengisi momen-momen penting dalam linimasa sejarah kemerdekaan.
Baca juga Urgensi Ukhuwah dan Bahaya Perpecahan: Pentingnya Ilmu (Bag. 1)
Lihat saja peran pemuda dalam perkumpulan di tahun 1928 yang kemudian mencetuskan Sumpah Pemuda, ikrar identitas bangsa. Atau lihat peran mereka dalam mendesak golongan tua agar segera mengikrarkan kemerdekaan Indonesia tatkala Jepang menyerah, sementara golongan tua masih ragu-ragu. Maka tidak berlebihan jika dibilang Indonesia belum tentu ada tanpa kontribusi para pemuda.
Siapa pun pasti setuju bahwa pemuda adalah aset berharga. Pemuda adalah generasi penerus yang akan melanjutkan tongkat estafet demi memastikan eksistensi suatu bangsa. Generasi tua memang memiliki pengalaman dan kearifan, tetapi pemuda dianugerahi dengan idealisme, etos kerja, dan semangat juang yang tinggi. Jika diarahkan dan dipersiapkan dengan baik, nasib bangsa akan berada di tangan yang tepat.
Baca juga Urgensi Ukhuwah dan Bahaya Perpecahan: Pentingnya Adab (Bag. 2)
Pentingnya peran pemuda dalam membangun sebuah peradaban juga diajarkan dalam Islam. Dalam Q.S. An-Nisa ayat 9, Allah SWT berfirman; “Dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Orang-orang takjub melihat betapa saat ini China mengalami kemajuan pesat dan telah berhasil menyaingi negara adidaya sekelas Amerika Serikat. Padahal pada tahun 1960-an, kondisi negara tersebut tidak lebih baik dari Indonesia. Salah satu faktor di balik kesukesan itu yaitu keputusan China untuk berinvestasi pada generasi mudanya.
Baca juga Ketangguhan Penyintas Bom Kuningan, Ram Mahdi Maulana: dari Amarah Menuju Pemaafan
Sebagai informasi, sejak 1978, China mulai masif mengirim angkatan mudanya menimba ilmu ke luar negeri. Menurut data Kementerian Pendidikan China, dari rentang 1978-2019, sudah ada sekitar 6,56 juta pemuda China yang belajar di luar negeri. Sekitar 4,9 juta di antaranya sudah lulus, dan 89% dari mereka kembali ke China setelah kelulusan. Saya tidak membicarakan sistem politik atau ekonomi China di sini, tapi langkah negara tersebut dalam memersiapkan generasi muda menjadi role model bagi bangsa mana pun yang mendambakan kemajuan.
Di balik potensinya yang kaya, tak dapat dipungkiri pemuda cukup rentan terkena pengaruh buruk. Memiliki idealisme dan semangat (ghirah) yang tinggi itu baik, tetapi apabila diwujudkan dengan cara yang keliru hanya akan mencederai idealisme itu sendiri. Sejumlah kasus menunjukkan, ada segelintir anak muda yang terusik melihat suatu ketidakadilan, namun dalam menyelesaikannya justru mereka menciptakan ketidakadilan yang baru.
Baca juga 16 Tahun Bom Bali 2005: Kesakitan Menuju Kebangkitan
Kasus terorisme adalah bukti konkretnya. Semua mantan pelaku yang dirangkul oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA), seperti Ali Fauzi, Kurnia Widodo, Mukhtar Khairi, Iswanto, dan Sumarno, menjadi pelaku di usia muda, di saat ghirah mereka tengah menggebu-gebu.
Alasannya, mereka terusik melihat umat Islam dizalimi, lalu mereka bangkit membela. Mereka juga mendambakan sebuah sistem pemerintahan yang dapat mengayomi umat Islam dan memberikan mereka keadilan. Sayangnya, mereka menggunakan kekerasan untuk memenuhi dahaga idealisme itu.
Baca juga Tangis Ketangguhan Penyintas
Pada akhirnya, orang-orang tak bersalah pun menjadi korban. Suami kehilangan istrinya, istri kehilangan suaminya, orang tua kehilangan anaknya, dan atau sebaliknya. Ada yang selamat, namun kesempurnaan fisiknya terenggut akibat dahsyatnya efek kekerasan yang dilakukan kelompok teror, sampai-sampai ada yang tidak bisa lagi beraktivitas normal dan kehilangan mata pencaharian. Masalah lama tidak selesai, masalah baru pun bermunculan.
Oleh sebab itulah, modal idealisme saja tidak cukup dimiliki oleh pemuda. Untuk menjadi insan yang paripurna, pemuda juga harus memiliki kontrol diri dan pikiran kritis. Setiap tindakan harus dipertimbangkan cost dan benefit-nya secara matang, agar menghasilkan keputusan terbaik yang tidak merugikan. Ini merupakan kiat agar pemuda senantiasa berada di jalur yang benar.
Baca juga Mengelola Amarah
Setelah 76 tahun Indonesia merdeka, kita masih dihadapkan dengan krisis multidimensi. Masalah-masalah seputar korupsi, penegakan hukum yang lemah, dan kesenjangan sosial maupun ekonomi masih kerap kita temukan. Masalah-masalah tersebut pastinya menyentil aspek idealisme kita sebagai pemuda untuk bertindak melakukan sesuatu. Bagaimana pun, hasrat untuk memperbaiki krisis tersebut seharusnya disalurkan dengan cara yang tepat.
Ketimbang melakukan aksi-aksi kekerasan seperti pengeboman, tawuran, bullying, dan lain-lain, pemuda sebaiknya memilih aksi-aksi yang positif, dialogis, beradab dan tidak menyalahi hukum. Jika berada di luar pemerintahan, pemuda bisa menjadi aktivis gerakan sosial. Kawal kinerja pemerintah dengan kritik yang membangun. Atau jika punya kesempatan, masuklah ke dalam pemerintahan, lakukan perubahan itu dari dalam, dan jadilah pemimpin yang amanah. Sebagaimana kaidah fiqih menyebutkan”Tasharruf al-imam ala ar-ra’iyah manuthun bi al-maslahah” (kebijakan pemerintah atas rakyat harus didasarkan pada prinsip kemaslahatan).
Baca juga Beragama dengan Aman
Satu hal yang perlu diingat, baik buruknya nasib Indonesia ke depan bergantung pada pemuda saat ini. Jika mayoritas pemuda saat ini lebih menyukai cara-cara kekerasan, dapat dibayangkan Indonesia di masa depan akan porak-poranda oleh konflik yang tak berkesudahan, sebagaimana terlihat di beberapa negara Timur-Tengah. Sebaliknya, jika mayoritas pemuda lebih menyukai cara-cara yang beradab dalam menyelesaikan masalah, yakinlah masa depan bangsa ini akan cerah.
Baca juga Mengarifi Konflik