Membangun Lingkungan Positif
Lingkungan berkontribusi besar membentuk kepribadian individu. Meski tak selalu, anak yang bertumbuh kembang dalam kondisi yang negatif cenderung menjadi pribadi yang bermasalah. Keluarga, kelompok pertemanan sebaya (peer group), dan lingkungan sekitar rumah adalah faktor eksternal yang sangat memengaruhi pemikiran dan perilaku seseorang.
Dalam hadis, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya. Kalau pun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu dan kalau pun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR Bukhari 553).
Baca juga Dukungan Komunitas untuk Kebangkitan Korban
Makna tersirat dari hadis ini adalah lingkungan pertemanan sangat berpengaruh terhadap pemikiran, sikap, dan perilaku seseorang. Jika seseorang dalam lingkungan pertemanan yang positif, maka dia cenderung akan berpikir, bersikap, dan berperilaku positif. Begitu pun sebaliknya jika berada dalam lingkungan negatif.
Faktor pertemanan inilah yang menjerumuskan Kurnia Widodo ke dalam kelompok ekstremisme kekerasan. Ketika duduk di bangku SMA, Kurnia menyenangi musik-musik rock beraliran metal yang memang digandrungi kalangan remaja di zamannya.
Namun hobi tersebut perlahan menghilang ketika salah satu teman mengajaknya hijrah ke arah yang lebih baik. Kurnia diajak mengikuti pengajian, diberikan buku-buku, majalah, dan narasi keislaman yang tidak didapatkannya di bangku sekolah. Ia juga disuguhi video-video perjuangan umat Islam melawan invasi militer Uni Soviet di Afghanistan yang membuat emosinya teraduk-aduk. Dalam perkembangannya kemudian, ia menyadari bahwa dirinya telah berikrar setia dengan kelompok Negara Islam Indonesia (NII).
Baca juga Tiga Mantra Perdamaian
Saat berpindah ke Bandung untuk menempuh kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri, Kurnia tetap menjalin hubungan erat dengan para anggota NII di Kota Kembang. Ia rajin mengikuti pengajian kelompok NII, bahkan kemudian mengikuti pelatihan kemiliteran. Bersama sejumlah rekannya, ia juga mendirikan laboratorium mini peracikan bom. Namun gerak-geriknya terendus oleh aparat kepolisian. Tak ayal Kurnia harus meringkuk di jeruji besi untuk menjalani hukuman.
Ketika berada di Lapas Cipinang Jakarta, Kurnia bertemu dengan beberapa guru yang menyampaikan pengetahuan agama yang berbeda jauh dibandingkan dengan apa yang ia terima di kelompoknya dulu. Ia juga bergaul dengan para petugas Lapas yang bersikap sangat baik kepadanya. Dari lingkungan itu, ia seperti mendapat dukungan untuk meninggalkan ekstremisme. Ia lantas mengajukan pembebasan bersyarat (PB). Padahal PB adalah hal tabu, bahkan haram, dalam kelompok ekstremis.
Baca juga Determinasi Diri Penyintas Bom Kuningan
Ketika pulang ke rumah dan berkumpul bersama dengan istri dan anak-anaknya, Kurnia menyadari bahwa perbuatannya dulu justru telah menyengsarakan keluarganya. Anaknya yang bungsu bahkan sempat menolak kehadiran dirinya karena dianggap orang asing. Kurnia semakin yakin untuk meninggalkan kelompok ekstremis.
Menyimak kisah perjalanan hidup Kurnia, maka sangat penting bagi kita untuk membangun lingkungan yang positif sejak dari yang terkecil, yakni keluarga hingga skala yang lebih besar seperti komunitas sosial. Lingkungan positif selain bermanfaat untuk diri sendiri juga menghindarkan kita dari penyesalan jika ada orang-orang terdekat yang terjerumus dalam kejahatan.
Baca juga Membangun Budaya Damai dari Rumah