Paradoks Ekstremisme:
Belajar dari Perubahan Pandangan Napiter
Oleh Fikri
Master Ilmu Politik Universitas Indonesia
Asumsi dasar yang memengaruhi seseorang melakukan tindakan kekerasan adalah ide, yaitu suatu hal yang tertanam dalam pemikiran secara kognitif dan keyakinan di dalam hati. Ide dapat berkembang menjadi ideologi yang secara koheren berhubungan dengan fenomena-fenomena dan persoalan sosial politik yang berkembang.
Menurut pengakuan salah seorang narapidana terorisme yang pernah penulis jumpai, faktor dasar munculnya tindakan esktremisme berawal dari ide. Di kalangan kelompok ekstrem, ada keinginan untuk menjadikan sebuah negara berlandaskan Islam dengan cara menghancurkan negara itu terlebih dahulu.
Faktor ketidakadilan global, ekonomi, atau pendidikan hanyalah faktor antara. Adapun faktor utamanya adalah ide negara Islam tersebut. Justifikasi agama menjadi pembenaran atas tindakannya.
Baca juga Pendidikan Perdamaian (Tarbiyah Silmiyah): Memaknai Kembali Tujuan Jihad
Meskipun demikian, tak ada gading yang tak retak, layaknya tak ada batu yang tak bisa hancur. Semua bisa berubah seiring perkembangan pemikiran, yang terkadang dipicu oleh paradoks antara harapan dan kenyataan dan antara justifikasi yang satu dengan yang lain.
Kita tahu, sejumlah orang terpapar paham kekerasan sejak dini, bahkan sejak bangku pendidikan menengah. Proses radikalisasi yang sangat panjang, membuat mereka memiliki keyakinan yang kuat terhadap ajaran yang mereka anut.
Beberapa di antaranya bahkan menjadi residivis terorisme, yaitu kembali mengulangi perbuatannya dalam kasus yang sama. Penjara tidak memberikan efek jera (deterence) bagi para pelaku. Namun ada beberapa momentum yang mendorong mereka melakukan kontemplasi hingga perlahan menyadari kesalahan berpikirnya selama ini. Ternyata banyak hal yang terjadi sangat tidak sesuai dengan keinginannya, bahkan sebaliknya menyalahi ajaran-ajaran dasar Islam sendiri.
Baca juga Memaafkan dan Membangun Peradaban
Beberapa di antaranya tentang dampak aksi (amaliyat) yang mereka lakukan. Banyak korban sipil tak bersalah, bahkan di antaranya adalah umat muslim sendiri yang menderita akibat aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan. Citra Islam menjadi buruk di mata masyarakat. Malahan di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat banyak bermunculan fenomena Islamophobia, yaitu sikap antipati berlebihan terhadap umat Islam, khususnya yang berkaitan dengan simbol-simbol keagamaan.
Setiap napiter menjumpai momentum pemicu kesadaran yang berbeda-beda. Sebagian ada yang dari bahan bacaan. Mereka membaca buku-buku yang isinya bertentangan dengan buku-buku rujukan yang biasa dibaca. Mereka juga banyak berdiskusi dengan teman-temannya yang telah berubah terlebih dahulu dan sadar bahwa dahulu ia jauh dari ulama-ulama yang saleh, hanya mengikuti pendapat ulama dari kalangan mereka sendiri.
Contoh perubahan pemahaman dilakukan oleh salah seorang napiter residivis ketika ia berpendapat bahwa semua amaliyat/aksi teror perlu dikoreksi. Ia mengkritik buku rujukan para napiter, Syarah Kitab Muqarrar fit Tauhid (Kurikulum Tauhid) karangan Aman Abdurrahman (tanpa tahun) yang dibaca dan dipercaya sebelumnya. Dalam analisanya sang napiter ini merujuk pada ulama Ibnu Taymiyah (1263-1328), yang menegaskan bahwa tidak seharusnya melakukan pembalasan dendam di tempat yang berbeda, karena itu dilarang oleh agama.
Baca juga Memberantas Terorisme
Dengan merujuk pada Ibnu Taymiyah tersebut, sang napiter menjelaskan dan memberi contoh bahwa ketika tentara Amerika Serikat membunuh anak-anak dan perempuan dalam perang Afghanistan dan Irak, maka tidak seharusnya umat Islam juga membunuh anak-anak dan perempuan di tempat yang lain, apalagi bukan dalam kondisi perang. Hal itu dilarang karena warga negara kerap tidak setuju dengan kebijakan politik pemerintahnya. Paradoks tersebut membuat sang napiter perlahan mulai merubah pandangannya.
Bagi mereka juga, mengubah pandangan orang-orang yang masih keras harus juga mengubah pemahaman mereka tentang negara. Jika tidak, akan terus ada aksi-aksi teror, karena kelompok-kelompok teror selalu beradaptasi. Meskipun banyak penangkapan, ideologi telah terwariskan.
Lapas: Rumah Pemantik Perubahan
Selain negara Islam, ada beberapa idiom penting yang sangat terkait dengan ekstremisme kekerasan berbasis agama, yaitu thaghut, takfir, dan jihad. Pada dasarnya, semua istilah itu ada dalam khazanah keilmuan Islam. Namun persoalan muncul pada kontekstualisasinya. Tanpa memandang kondisi faktual sekarang, idiom-idiom tersebut diterapkan serampangan.
Indonesia dikategorikan sebagai negara kafir karena tidak berhukum Islam. Sedangkan thaghut dan penolong-penolongnya (anshar) dialamatkan kepada sistem dan aparat-aparat dalam negara kafir. Konsekuensi dari hal tersebut mereka harus diperangi atas nama jihad.
Baca juga Menakar Persepsi tentang Terorisme
Cara berpikir demikian sangat kuat dianut oleh beberapa narapidana terorisme (napiter). Di antara yang telah berubah pandangan menyadari bahwa mereka telah menafsirkan ayat Al-Qurán dan hadis secara sepotong-sepotong, serta menolak pendapat dari ulama-ulama lain yang berbeda dari kelompoknya.
Pola demikian, ditambahi dengan kebencian yang dikelola dengan justifikasi yang terperinci. Setiap pemahaman memiliki dalilnya sendiri. Ujungnya beberapa napiter telah melakukan aksi-aksi kekerasan yang menyebabkan korban. Walhasil penjara menjadi konsekuensi atas tindakan yang mereka lakukan.
Namun Lapas menjadi lokus penting yang memantik paradoks-paradoks pemahaman napiter. Ada kontradiksi antara fakta dengan keyakinan yang mereka anut selama ini. Beberapa napiter mengaku penjara sangat bermanfaat baginya karena membuka wawasan baru. Aturan-aturan yang berat dan ketat tidak menutup kesempatan atas perubahan yang lebih baik.
Baca juga Tarbiah Perdamaian (Bag. 1)
Manfaat tersebut mereka rasakan karena pembinaan yang dilakukan oleh petugas Lapas dilakukan dengan penuh kasih sayang dan keramahtamahan. Banyak kebaikan yang petugas berikan. Perlakuan baik petugas Lapas sangat berbanding terbalik dengan apa yang mereka pikirkan tentang aparat negara (ansharut thaghut) sebelumnya.
Bahkan ketika napiter sakit, para petugas ikut merawat dan memfasilitasi pengobatannya hingga sembuh. Keteladanan ini mendorong napiter untuk berpikir ulang tentang pemahamannya selama ini. Dimulai dengan sikap tidak memusuhi petugas Lapas, berkembang pada pemahaman bahwa muslim wajib membalas kebaikan dengan kebaikan.
Perlahan mereka berubah berdasarkan pengalaman yang terjadi secara sadar (disonansi kognitif), salah satunya dengan melihat kebaikan petugas. Elemen penting perubahan diuji ulang oleh mereka sendiri. Mulai dari membaca kembali buku-buku keislaman dan membandingkan dengan pendapat ulama-ulama yang berbeda, kemudian berdiskusi dengan teman yang sudah berubah terlebih dahulu.
Baca juga Tarbiah Perdamaian (Bag. 2)
Mereka menguji ulang banyak praktik penyimpangan para ekstremis yang dilakukan atas nama agama. Bahwa jihad bukan hanya diartikan dengan perang, dengan menganalogikan ketika Rasulullah di Mekah tidak pernah melakukan jihad (perang), melainkan berdakwah dengan akhlak dan keteladanan. Bahkan ketika diperangi beliau tidak melawan dengan kekerasan yang sama.
Jihad lebih tepat dilakukan di negara-negara konflik, di mana umat Islam tidak bebas untuk beribadah atau sedang diperangi. Dalam konsep marhalah jihad, jihad adalah jalan terakhir untuk ditempuh. Diplomasi harus diutamakan.
Konsep lain yang diuji ulang adalah Islam bukanlah agama kekerasan. Islam adalah agama dakwah dan keteladanan sehingga menjadi rahmat bagi yang lain. Yang paling penting dalam berjuang harus memiliki pijakan ilmu yang kuat. Cara untuk mencapai tujuan baik harus dilakukan dengan cara-cara yang baik pula.
Pesan Korban dalam Memperkuat Perubahan
Paradoks selanjutnya berkaitan dengan korban, yaitu orang-orang yang meninggal dunia dan menderita secara fisik maupun mental dari peristiwa kekerasan seperti pemboman, penembakan, dan lain-lain. Secara khusus para korban ini tidak mempunyai relasi permusuhan dengan para pelaku. Akan tetapi mereka termasuk orang-orang yang terkena dampak fisik seperti menjadi disabilitas, bahkan beberapa ada yang mengalami kelumpuhan. Mereka juga mengalami dampak mental-psikologis, seperti trauma yang berkepanjangan.
Dalam kajian kontra narasi berkaitan dengan korban, ada dua syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu message dan messanger. Message atau pesan harus benar-benar tepat, mayoritas pesan yang kredibel datang dari ingroup critic. Sedangkan messanger atau si pembawa pesan harus otoritatif. Unsur korban merupakan salah satu elemen penting yang mempunyai otoritas untuk terjadinya perubahan pada napiter. Karena korban merupakan unsur yang terkena dampak buruk hasil dari pemikiran dan aksi non target yang dilakukan pelaku kekerasan tersebut (Solahudin, 2019).
Baca juga Tarbiah Perdamaian: Berakhirnya Kekerasan (Bag. 3-Terakhir)
Hal tersebut banyak diakui oleh narapidana terorisme, bahwa warga sipil bukan lah target dari amaliyat/aksi yang mereka lakukan, mereka dikategorikan korban yang tidak sengaja. Unsur korban ini justru menjadi faktor pendukung perubahan yang terjadi pada narapidana terorisme. Mereka menyadari apa yang dilakukan atas nama agama dan jihad berbanding terbalik dengan fakta yang terjadi, berakibat kontra produktif terhadap perjuangan Islam itu sendiri.
Secara syari’, warga sipil tidak dikenai hukum pidana yang sama jika kesalahan dilakukan oleh pemimpinnya. Maka dari itu, adab dalam berjihad wajib mempertimbangkan etika, baik terhadap warga sipil, terhadap binatang, bahkan terhadap lingkungan. Dilarang membunuh orang tua, perempuan, dan anak kecil. Kemudian dilarang pula menebang pohon atau meruntuhkan bangunan bahkan dilarang membumihanguskan daerah yang mereka perangi, dan masih banyak lagi adab-adab lainnya.
Mayoritas diantara mereka yang pernah dipertemukan dengan korban, menunjukkan hasil positif terhadap perubahan pemikiran yang selama ini dianut. Sebagai contoh, mereka mulai merevisi amaliyat yang selama ini mereka yakini sebagai suatu ibadah, bahkan diantaranya dengan penuh kesadaran mengatakan bahwa setiap amaliyat yang dilakukan pasti akan ada korban. Masalahnya jika faktor tersebut menjadi pertimbangan, maka amaliyat tersebut tidak akan pernah terlaksana, sedangkan amaliyat adalah hal urgent yang harus dilakukan demi perubahan negara ini.
Baca juga Ketangguhan Mental Modal Kebangkitan
Namun setelah mendengar kisah korban secara langsung, sebagian besar dari mereka meminta maaf sebagai bentuk rasa empati, lalu menyesali perbuatan yang mereka lakukan sebelumnya, diantaranya bahkan meminta maaf atas nama teman-temannya yang terlibat dalam aksi pengeboman atau kekerasan lainnya yang mengakibatkan jatuhnya korban.
Hasil positif lainnya juga dirasakan dalam konteks tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa), setelah bertemu dengan korban mereka akan lebih meningkatkan kualitas keimanannya, karena belum tentu kita yang masih hidup sekarang akan meninggal dalam keadaan baik (khusnul khatimah) sebagaimana korban yang mudah-mudahan meninggal karena amaliyat ini dalam keadaan khusnul khatimah pula.
Oleh karena pertemuan dengan korban ini begitu penting, sebagian diantara narapidana terorisme tersebut akan mengajak teman-temannya yang masih keras (ekstrim) untuk sama-sama berpikir ulang atas apa yang mereka perbuat selama ini. Karena selain atas dasar pikiran, perubahan bisa terjadi dari hati, dengan pendekatan korban ini mereka akan melihat bahwa tujuan yang baik bisa berakibat buruk jika dilakukan dengan cara yang salah.
Baca juga Perdamaian dari Akar Rumput