Belajar Zuhud dari Penyintas Bom
Oleh M. Syafiq Syeirozi
Alumni Ponpes Bahrul Ulum Tambakberas Jombang
Tulisan ini terinspirasi oleh Jihan Thalib, penyintas Bom Kampung Melayu 2017. Dalam salah satu kegiatan AIDA, ia menyatakan bahwa salah satu faktor yang mendorong kebangkitannya dari musibah adalah sikap zuhud. Menurut dia, “Zuhud itu tidak terlalu mementingkan dunia. Bukan berarti tidak peduli sama sekali, tapi apa pun yang bersifat duniawi, mari kita ikhlaskan.” (Baca disini)
Mari kita ulas secara singkat tentang zuhud. Dalam Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata yang bersinonim dengan zuhud adalah asketisme. Zuhud dalam KBBI bermakna “perihal meninggalkan keduniawian; pertapaan.” Dalam kajian perbandingan agama, hampir semua agama menganjurkan umatnya untuk tidak mencintai segala hal yang bersifat material demi mendekatkan diri kepada Tuhan. Turunan konsep dan praktiknya sangat beragam.
Baca juga Menggelorakan Ketangguhan
Dalam Islam, salah satu dalil zuhud adalah sabda Nabi Muhammad Saw:
ازهد في الدنيا يحبّك الله ، وازهد فيما عند الناس يحبّك الناس
“Bersikaplah zuhud terhadap dunia, maka Allah akan mencintaimu. Bersikaplah zuhud terhadap milik orang lain, maka orang-orang akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah)
Praktik zuhud dalam Islam memang beragam. Sebagian tampak ekstrem, karena orang sama sekali meninggalkan kesenangan duniawi dan menghanyutkan diri dalam pertapaan. Orang menolak harta, jabatan, dan perkara material lain karena dapat mengganggu jiwanya dalam bermunajat kepada Allah.
Baca juga Dakwah Islamiyah untuk Perdamaian
Praktik zuhud model demikian telah banyak dikritik oleh para ulama. Sayyid Muhammad Syatha Al-Dimyathi dalam Kifayatul Atqiya’ menegaskan, zuhud bukan berarti orang tidak boleh memiliki harta benda sama sekali, namun zuhud adalah menghilangkan rasa keterikatan atau ketergantungan terhadap hal-hal yang bersifat material itu. Ia mencontohkan Nabi Sulaiman AS yang seorang raja dan kaya raya. Menurut dia, Nabi Sulaiman adalah sosok yang sangat zuhud karena mengonsumsi makanan yang sederhana untuk dirinya sendiri, namun menghidangkan makanan paling lezat bagi rakyatnya (Hlm. 20-21).
Zuhud sejatinya adalah ajaran moral dasar. Sikap ini akan melahirkan sikap dan perilaku positif seperti kejujuran, pengorbanan untuk kemaslahatan umat, keikhlasan menerima segala bentuk musibah, dan semacamnya.
Baca juga Asep Wahyudi: Potret Ketangguhan Korban Bom Kuningan 2004
Orang boleh saja mengemban amanat jabatan setinggi apa pun atau menggenggam kekayaan seluas samudra , tetapi dia tidak mencintainya secara berlebihan. Dalam sejarah politik Indonesia, kita bisa belajar dari sosok Muhammad Hatta (Wakil Presiden pertama) dan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (Presiden keempat).
Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wapres lantaran tidak lagi bisa sejalan dengan Sukarno. Kendati nyaris tidak ada tekanan politik yang signifikan kepadanya terkait jabatan itu. Bahkan terhadap benda kesayangannya, yaitu buku-buku yang jumlahnya puluhan ribu, Hatta mengizinkan untuk menjualnya demi menutupi kekurangan ekonomi keluarga saat ia meninggal dunia. Padahal saat hendak meninggalkan Belanda usai menyelesaikan kuliah, satu-satunya benda yang terlarang diambil oleh teman-temannya adalah buku. Hatta juga berhasil menunaikan nazarnya untuk menunda pernikahan hingga Indonesia merdeka. Padahal pernikahan adalah hajat dasar psikologis-biologis setiap manusia.
Baca juga Ketika Penjara Justru Membuat Mantan Teroris Menjadi Lebih Ekstrem
Sementara Gus Dur, usai dilengserkan secara paksa dari tampuk kepresidenan, dalam pelbagai forum kerap mengatakan “Tak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati-matian.” Saat eskalasi politik meninggi pada awal tahun 2001, ribuan massa mendeklarasikan diri sebagai “Pasukan Berani Mati” untuk membela Gus Dur. Namun sikap Gus Dur yang legawa meninggalkan Istana Merdeka Jakarta mampu meluluhkan para pendukung fanatiknya. Gus Dur juga tidak pernah ingin membalas pelengseran itu. Terbukti ia menekankan agar tak ada lagi presiden yang mengalami nasib sepertinya.
Kembali pada kisah Jihan Thalib. Akibat serangan terorisme di Kawasan Terminal Kampung Melayu Jakarta Timur itu, ia menderita cedera di sekujur tubuhnya. Walhasil Jihan harus menjalani perawatan selama sekitar 1 tahun. Jihan sangat bersemangat untuk memulihkan kondisinya. Hal itu didorong oleh tanggung jawabnya sebagai anak tunggal dari ibunya yang single parent. Saat musibah terjadi, Jihan menjalani peran ganda; sebagai mahasiswi sekaligus pekerja. “Ibu saya sedang sakit kanker darah. Saya adalah tulang punggung keluarga. Kalau saya sakit, siapa yang akan merawat Ibu saya. Saya tidak mau menjadi beban untuk Ibu saya,” tuturnya. (Baca disini)
Baca juga Beban Berlapis Korban Terorisme
Tak hanya sembuh secara fisik, Jihan juga tak mengalami problem psikis yang berarti. Ia memang sempat trauma melintasi kawasan Terminal Kampung Melayu dan takut mendengar suara semacam ledakan. Namun ia tidak memendam amarah terhadap para pelaku pengeboman, apalagi mendendam. Ia meyakini bahwa musibah yang menimpanya adalah suratan takdir Allah yang harus diterimanya secara ikhlas. Benar bahwa ia kehilangan kenikmatan-kenikmatan duniawi selama beberapa waktu, tetapi sebagaimana dikutip dalam awal tulisan, ia berusaha bersikap zuhud.
Akhiran, sebagai renungan bersama, penulis mengutip firman Allah Swt
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ . لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَل مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُور
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al-Hadid ayat 22-23).
Baca juga Memaknai Pengayoman Dalam Pemasyarakatan