27/09/2021

Tangis Ketangguhan Penyintas

Penyintas terorisme berperan signifikan dalam kerja-kerja pembangunan perdamaian yang dilakukan Aliansi Indonesia Damai (AIDA). Bersama mantan pelaku terorisme yang telah bertobat, penyintas memberikan banyak pembelajaran penting kepada khalayak luas.

Dari penyintas, kita bisa belajar ketangguhan, kebangkitan dari keterpurukan, hingga pemaafan agung pada level praksis, bukan sekadar teoretis. Di balik hal-hal inspiratif itu, tak jarang penyintas menceritakan kisahnya dengan emosi yang meluap, seperti kesedihan hingga tangis yang tidak terbendung.

Baca juga Mengelola Amarah

Betapa dalamnya sakit yang pernah dialami, hingga walaupun tragedi yang menimpa terjadi puluhan tahun silam dan telah mengikhlaskan musibah itu, luapan emosional masih tak terbendung.

Sebagai misal, Yuni Arsih sering tak kuat menahan menangis tatkala menceritakan kisah Suryadi, mendiang suaminya, yang meninggal akibat pengeboman di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta, tahun 2004 silam. Demikian pula Nurman Permana yang kerap harus mengambil jeda sejenak untuk menenangkan diri saat berkisah perihal Bom Thamrin yang menimpanya di awal 2016 lampau.

Baca juga Beragama dengan Aman

Air mata Yuni, Permana, dan penyintas terorisme yang lain bukanlah ekspresi perih, namun merupakan tangisan ketangguhan yang menguatkan mereka. Secara medis, tangisan membantu memproduksi oksitosin dan endorphin, yakni sebuah zat kimia yang membantu meringankan rasa sakit fisik dan psikis. Setelah endorfin dilepaskan, tubuh mungkin mengalami sedikit mati rasa untuk sejenak. Oksitosin dapat memberikan perasaan tenang atau sejahtera.

Para psikolog pun mengakui bahwa menangis memberikan dampak psikologis. Sebuah riset berjudul When and for Whom Does Crying Improve Mood? A Daily Diary Study of 1004 crying Episodes yang dilakukan oleh Bylsma, Croon, dan Vingerhoets, menemukan bahwa menangis dapat membuat seseorang merasa lebih baik ketika mereka memiliki dukungan emosional, dalam hal ini orang yang memahami situasinya.

Baca juga Mengarifi Konflik

Riset yang dimuat dalam Journal of Research in Personality tahun 2011 ini juga menyimpulkan, tangisan orang yang mendapatkan dukungan sosial akan menghasilkan hikmah ataupun pemahaman baru mengenai situasi yang membuat mereka menangis.

Hal ini menjelaskan mengapa para penyintas terorisme tetap akan bercerita meski terkadang harus mengalami luapan emosional. Karena di balik luapan emosional itu, ketangguhan terus tumbuh dan pemahaman damai yang terus menyemai, bukan emosi-emosi negatif.

Peran Penting Dukungan Sosial

Temuan riset Bylsma dan kawan-kawan mengenai tangisan orang yang mendapatkan dukungan sosial akan menghasilkan hikmah, menjadikan peran dukungan sosial sangatlah penting bagi pemulihan seseorang melawati masa sulit. Dukungan sosial yang dilakukan oleh orang-orang memiliki kesamaan dan kelekatan emosional, dapat membantu seseorang bangkit.

Baca juga Meneladani Penyintas Bom

Jika kita menyimak para penyintas aksi terorisme, mereka selalu membutuhkan dukungan dari keluarga, teman bahkan termasuk sesama penyintas. Para korban tidak jarang menceritakan bagaimana orang tua ataupun anak membuatnya memilih memaafkan para pelaku terorisme dan mengikhlaskan kesakitannya. Jangan pula kesampingkan peran komunitas dan organisasi penyintas aksi terorisme memainkan peran konseling kelompok kepada para korban untuk menjadi penyintas.

Matina A. Amande dalam riisetnya berjudul Resilience and Social Support as Predictors of Posttraumatic Stress Disorder Among Internally Displaced Persons in Benue and Taraba States menemukan, bagi seseorang yang mengalami trauma pascakejadian buruk akan merasa lebih baik dengan mendapatkan dukungan sosial (dukungan langsung dan tidak langsung), lebih lanjut, Matina menyebutkan dukungan sosial tersebut melahirkan ketangguhan mental (resiliensi) seseorang dalam menghadapi kondisi traumatis sehingga mampu mengatasi segala rintangan dengan baik dan dapat memulai hidup kembali.

Baca juga Penyintas Bom Melampaui Ketangguhan

AIDA, bersama organisasi penyintas aksi terorisme dan juga lembaga negara yang selama ini terus berada pada keberpihakan kepada penyintas bukan hanya semata sebagai tugas-tugas formal kelembagaan, secara tidak langsung juga memberikan dukungan sosial kepada penyintas agar merasa tidak sendiri dalam perjuangannya meraih kepulihan baik fisik maupun psikis.

Kita semua dan masyarakat umumpun hendaknya mengambil peran yang sama, menjadikan diri sebagai pendukung bagi para penyintas. Keberpihakan pada korban bisa kita lakukan dengan memberikan dukungan sosial dan moril, sesimpel tidak menghakimi penyintas atas masa lalunya bahkan menganggap aksi yang melukai mereka sebagai sebuah rekayasa, karena diluar itu semua, penyintas adalah wujud nyata bahwa aksi kekerasan/terorisme bisa melukai siapa saja dan kapan saja.

Pembelajaran (Ibroh) dari Tangisan Penyintas

Meski secara mental sudah kuat, namun bukan berarti seseorang tidak bisa menunjukkan reaksi emosional. Ketangguhan mental dan reaksi emosional adalah dua hal yang berbeda. Ketangguhan mental artinya seseorang sudah bisa memaafkan, menerima yang yang terjadi dan memulai hidup dengan lebih positif lagi. Reaksi emosional adalah ekspresi manusiawi atas kejadian, seperti penyintas aksi terorisme yang menangis jika mengingat dan menceritakan kejadian buruk yang mereka alami.

Baca juga Menghargai dan Mengasihi Sesama

Penyintas yang mengaku sudah mengikhlaskan yang terjadi bukan berarti tidak menangis saat menceritakan kisahnya, justru tangisan penyintas aksi terorisme adalah wujud nyata dari ketangguhan mereka, sekaligus kebangkitan mereka atas aksi terorisme yang merusak kehidupan mereka.

Kita pun hendaknya belajar dari tangisan penyintas, bahwa tangisan bukan tanda seseorang lemah, tetapi tanda kita manusia normal yang menangis sedih saat menceritakan hal menyedihkan. Menangis tidak perlu lagi disikapi dengan perasaan malu karena merasa lemah, tetapi berganti dengan kesadaran sebagai reaksi alami dari tubuh manusia.

Baca juga Efek Beruntun Kekerasan

Tangisan penyintas adalah bentuk menyalurkan emosi yang terpendam dengan cara yang damai, alih-alih menyalurkan emosinya dengan membalas kekerasan dengan kekerasan. Pada tangisan korban adalah proses pemulihan tubuh dari tekanan emosi yang terus berjalan.

Baca juga Membangun Persaudaraan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *