11/10/2021

Ketangguhan Penyintas Bom Kuningan, Ram Mahdi Maulana: dari Amarah Menuju Pemaafan

“Saya depresi luar biasa. Setiap hari marah, emosi, benci, dan dendam. Dulu sehat tapi kini harus tidur dan makan di kursi roda. Bahkan setelah satu tahun, saya masih ingin mencari pelakunya. Kemudian saya sering beriktikaf di masjid dan menenangkan diri. Saya dapatkan hal luar biasa. Perlahan saya hilangkan kebencian dan rasa dendam itu.”

Aliansi Indonesia Damai- Sepotong penuturan di atas disampaikan oleh Ram Mahdi Maulana, penyintas Bom Kuningan 2004. Meski peristiwa itu sudah berlangsung lama, tetapi tidak mudah melupakan kejadian tragis yang mengguncang perjalanan hidupnya. Mahdi, sapaan akrabnya, mengalami luka fisik yang parah dan trauma psikis selama bertahun-tahun. Setelah tujuh belas tahun, ia masih harus berobat dan menggunakan penyangga leher sampai sekarang.

Mulanya ia sama sekali tak menyangka bom akan terjadi di tempatnya bekerja. Saat itu, Mahdi adalah bujangan yang tengah bersemangat  meniti karir.Ia hampir selalu berangkat kerja pada pagi buta dengan sepeda motor, menempuh waktu sekira satu setengah jam dari rumahnya di Bogor menuju kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Tak seperti biasanya, 9 September 2004, setelah shalat subuh ia merasa sangat nyaman berzikir di atas sajadahnya.

Baca juga 16 Tahun Bom Bali 2005: Kesakitan Menuju Kebangkitan

Ia baru sadar kalau harus berangkat saat matahari mulai merekah. Meski begitu ia tidak telat tiba di kantornya, Kedubes Australia. Mahdi lekas menempatkan diri di pos jaga petugas keamanan. Keadaan kantor hari itu tampak normal dan biasa-biasa saja, bahkan masih sempat bercanda dan menyapa rekan-rekan kerjanya. Sekitar pukul 10.00 WIB, saat ia selesai memeriksa sudut-sudut kantor, ledakan sangat keras tiba-tiba terjadi.

Ia terhempas dan kepalanya terbentur. Pikirannya menjadi kosong, telinganya sudah tidak mendengar apa-apa, dan beberapa saat kemudian kehilangan kesadaran. Namun Mahdi masih mampu bangkit dan segera memeriksa keadaan dan kondisi rekan-rekannya. Sebagian besar dari mereka mengalami luka parah dan lainnya meninggal dunia. Dengan panik ia keluar gedung dan melihat suasana sudah tampak putih dan berasap.

Baca juga Tangis Ketangguhan Penyintas

Ia berjalan tanpa arah dan meraba-raba. Alarm mobil berbunyi di mana-mana. Di luar gedung ia melihat banyak korban berjatuhan dan tergeletak di jalanan sehingga suasana saat itu ia gambarkan sangat kacau. “Saya mendengarkan rintihan orang meminta tolong, merintih sakit dan panas. Saya panik, pikiran saya terpecah, dan tak bisa memprioritaskan siapa yang harus saya selamatkan,” ucap Mahdi dalam salah satu kegiatan AIDA.

Saat itu ia merasa tidak mengalami cedera yang berarti. Mungkin karena fisiknya yang sudah terlatih sebagai tim keamanan, ia merasa tak ada cedera berarti. Ia lantas memilih tetap berjaga di kantor untuk mengamankan kekacauan. Selama tiga hari setelah ledakan, ia masih berjaga di kantor dan mengawal kunjungan para pejabat. Ia sempat merasa sedikit pusing, tetapi berpikir hanya efek kelelahan karena tiga hari bekerja lebih padat.

Baca juga Mengelola Amarah

Ia bahkan lupa mengabari keluarganya, terutama karena telepon selulernya hilang saat kejadian. Pihak keluarga pun menduga Mahdi menjadi salah satu korban tewas sehingga sempat menggelar kenduri tahlilan. Baru pada hari keempat pascamusibah, ia memutuskan pulang ke rumah dan disambut dengan tangis haru keluarga. Mereka tak menyangka Mahdi ternyata masih selamat. Namun selang beberapa jam kemudian, saat berkumpul dengan keluarga besarnya, tiba-tiba matanya memerah, kepalanya terasa sangat sakit, dan tak lama setelah itu pingsan.

Ia dilarikan ke rumah sakit dan selama dua hari tak sadarkan diri. Pihak keluarga lantas melaporkan kondisi itu kepada atasannya. Pihak Kedubes kemudian merujuknya ke salah satu rumah sakit di Karawaci Tangerang. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, ia mengalami benturan di bagian kepala sehingga menyebabkan adanya gumpalan darah di otak. Bagian gendang telinga kanannya rusak dan sampai saat ini masih sering berdenging. Ia juga mengalami patah tulang rahang sebelah kanan, dan rahang sebelah kiri lepas.

Baca juga Beragama yang Bermaslahat

Walhasil Mahdi harus menjalani serangkaian operasi pemulihan dan terus mengonsumsi 14 jenis obat untuk mengurangi rasa sakit yang dideritanya. Ia juga mengalami gangguan saraf dan penurunan fungsi tubuh. Kondisi itu diperburuk oleh emosi yang tak stabil, amarah, depresi, dan kebencian serta dendam terhadap pelakunya. Ia menjalani fisioterapi untuk memulihkan tangan yang tak bisa bergerak dan kaki yang harus dilatih berjalan lagi. Selain itu, ia mesti rutin cek darah dan memulihkan emosinya ke psikolog.

Dua tahun setelah kejadian itu berlalu, Mahdi mulai pulih dan menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Tetapi dirinya masih saja mengalami depresi. Musababnya, ia tak mampu bekerja secara maksimal seperti dulu. Rekan-rekan kerjanya menilai, Mahdi tak mungkin mampu bekerja seperti dulu dan karena itu ia merasa diremehkan. Mahdi sempat berniat untuk keluar dari pekerjaannya. Ia merasa sakit hati, dendam, kecewa, dan tak bisa menerima keadaan. Sejak itu ia merasa masa depannya tak tertolong lagi.

Memilih memaafkan

Memendam dendam ternyata malah menjadi beban bagi pikiran Mahdi. Suatu saat ia merenung, bertanya-tanya sampai kapan mesti menyimpan rasa benci. Ia kemudian rutin beriktikaf di masjid. Ia bertemu seorang ulama yang mengatakan, “Saya tahu apa yang kamu rasakan. Kebencian itu akan terkikis dan kebaikan tidak akan pernah habis. Di mana pun kamu berdiri di situlah lahan dakwahmu,” ucap Mahdi mengulangi ucapan orang yang tak dikenalnya itu.

Selama belum bisa manunggaling kersane gusti (tidak menyatu dengan kehendak Allah), maka Mahdi akan terus berkeluh kesah. Peristiwa dan nasehat ulama itu menohok kesadaran Mahdi. Rupanya musibah yang menimpanya adalah bagian dari takdir Allah. Ia lantas memanjatkan syukur kepada Allah karena masih memberinya kesempatan hidup. Hatinya jauh menjadi lebih ikhlas, tenang, dan damai. Ia pun mengurungkan diri untuk keluar dari pekerjaannya.

Baca juga Beragama dengan Aman

Selain peristiwa itu, ia juga memergoki seorang perempuan tengah memberi makan kucing yang kakinya patah. Ia mendengar perempuan itu mendoakan orang yang telah menyakiti kucing itu. Ia menganggap pengalaman itu sebagai pembelajaran yang sangat berarti. Hatinya mulai terbuka untuk memaafkan orang lain. Ia sangat terkesan dengan ketulusan perempuan itu. Menurut Mahdi itulah ajaran Islam yang sesungguhnya, yaitu memaafkan kesalahan orang lain, termasuk orang yang sudah berbuat jahat sekalipun.

Dua tahun lalu dalam kegiatan AIDA, Mahdi dipertemukan dengan mantan narapidana terorisme. Dari perjumpaan itu, ia menyadari bahwa mantan pelaku ternyata mengalami keadaan hidup yang tidak mudah, apalagi setelah mengakui kesalahannya. Ia lantas memaafkannya dan berkomitmen untuk mensyiarkan perdamaian bersama. “Saya dipertemukan dengan apa yang dulu saya anggap musuh. Ternyata setelah mendengar kisah mantan pelaku, mereka pun dalam hatinya bergejolak. Kami akhirnya bisa berangkulan dan saling memaafkan,” terang Mahdi.

Baca juga Mengarifi Konflik

Ia berharap rekonsiliasi dengan mantan pelaku terorisme dapat menjadi puncak dari keikhlasannya menerima seluruh ujian yang dihadapi. Ia juga berharap tidak ada lagi kekerasan-kekerasan mengatasnamakan agama. “Mari kita saling menghargai dan bersama-sama menyebarkan perdamaian,” ujarnya. Ia menyatakan bahwa peristiwa buruk yang menimpa seseorang bukanlah alasan untuk terpuruk dan meratapi keadaan. Sebaliknya ujian selalu ada agar setiap orang mampu bangkit dan menjadi pribadi yang lebih kuat lagi.

Lika-liku kehidupan membuat Mahdi merasakan banyak peristiwa yang mengajarinya tentang ketangguhan hidup. Ia tak pernah lagi meratapi kekurangannya. Ia juga tak lagi bicara tentang baik dan buruk, positif dan negatif, karena hal itu menurutnya bersifat relatif. Ia lantas merenungi makna dari sebuah cinta yang sifatnya absolut dan selalu memberi. Ia merasa apa yang menimpanya adalah takdir Ilahi yang harus diterima, dan bukan diratapi.

Baca juga Meneladani Penyintas Bom

Ia belajar menghilangkan dendam dan kebencian melalui berbagai tempaan spiritualitas dan perenungan. Ia kemudian menularkan arti keikhlasan kepada anak-anaknya. Ia selalu meminta buah hatinya agar tidak pernah menyimpan dendam kepada orang lain. Menurut Mahdi, seseorang yang memberi maaf tidak cukup sekadar mengulurkan tangan semata. Lebih dari itu, yang penting adalah kesediaan melapangkan dada sebagai tanda bahwa ganjalan hati akibat kesalahan orang lain telah lepas dari dalam diri.

Baca juga Penyintas Bom Melampaui Ketangguhan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *