Pendidikan Perdamaian (Tarbiyah Silmiyah):
Memaknai Kembali Tujuan Jihad
Oleh Fikri
Master Ilmu Politik Universitas Indonesia
Jika Abdullah Azzam (1941-1989), inspirator jihad Afghanistan melawan invasi Uni Soviet, menelurkan gagasan Tarbiyah Jihadiyah (pendidikan jihad) yang telah terbukukan, maka harus ada ide tentang pendidikan perdamaian (tarbiyah silmiyah). Tarbiyah Silmiyah bukanlah hendak menandingi Tarbiyah Jihadiyah, tetapi untuk mengingat kembali bahwa tujuan jihad (dalam arti perang) adalah untuk menciptakan perdamaian bagi umat manusia. Sebagaimana Azzam menulis bahwa jihad adalah perkara ibadah yang besar, maka membumikan pendidikan damai menjadi penting dalam rangka menjaga jihad agar tidak keluar dari rel syariat Islam.
Menurut Azzam, dalam edisi bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Al Jazeera (2013) tersebut, faktor penting yang mendasari jihad adalah iman, amal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran. Faktor-faktor tersebut penting menjadi rangkaian yang saling mendukung satu sama lain. Seseorang yang berjihad harus mempunyai landasan iman yang kuat dan lurus, mempunyai motivasi amal saleh sehingga tidak ada hawa nafsu yang menyertainya. Lalu penting juga untuk saling mengingatkan satu sama lain dalam kebenaran dan kesabaran, karena perkara jihad melibatkan darah manusia.
Baca juga Memaafkan dan Membangun Peradaban
Kemudian, bagaimana relevansi tarbiyah silmiyah dengan praktik jihad yang belakangan tampak penuh anomali. Jawabannya, jika tujuan jihad untuk perdamaian, maka akan ada solusi bagi perdamaian tanpa peperangan. Bagi Azzam, marhalah atau tahapan jihad/perang diharamkan ketika fase Makkah, yaitu ketika umat Islam masih lemah. Pun dilarang membunuh ketika musuh mengucapkan syahadat. Dalam konteks Indonesia misalnya, segala ibadah dan praktik-praktik ke-Islaman masih diperbolehkan, sehingga tidak tepat jika perang menjadi kewajiban.
Maka dari itu, perdamaian menjadi penting agar nilai-nilai Islam dan kemaslahatan umat tetap terjaga. Masalahnya, sebagaimana jihad, perdamaian juga memerlukan pendidikan. Pendidikan dasar dari suatu amalan adalah iman. Perdamaian perlu juga didasari dengan iman. Iman adalah meyakini dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan. Konsep iman tersebut perlu dipahami agar perdamaian menjadi sinkron antara hati, ucapan. dan praktik. Tidak bisa dinegasikan salah satunya.
Baca juga Memberantas Terorisme
Seseorang menjadi anarkis ketika tidak ada spirit perdamaian dalam keyakinannya. Menjadi aneh pula ketika sudah yakin, tetapi tidak pernah diucapkan dan disebarkan menjadi gagasan yang penting. Menjadi sia-sia pula ketika sudah yakin, sudah diucapkan, tetapi tidak diimplementasikan dalam kehidupan.
Dalam kehidupan yang serba terbuka seperti saat ini, ruang persoalan hidup menjadi semakin kompleks dan beragam, baik yang berasal dari internal maupun eksternal. Spiritualitas merupakan keniscayaan pada diri manusia. Karena iman ini begitu penting, maka perdamaian harus didasarkan pada konsep tersebut, agar menjadi produk kebudayaan.
Iman dalam pendidikan perdamaian berfungsi sebagai landasan yang menjadi cara pandang manusia untuk memahami dan menafsirkan kehidupan sosial. Bisa juga menjadi pemandu tindakan sosial, inspirasi norma dan nilai sosial, dan motivasi untuk tujuan politik atau sosial kemasyarakatan yang ingin dicapai. Kita bisa melihat bahwa ada orang rela mati demi memertahankan idealismenya, maka hal tersebut bisa terjadi untuk perdamaian.
Baca juga Menakar Persepsi tentang Terorisme
Praktik tarbiyah silmiyah ini bisa dilihat dari kisah korban aksi terorisme. Banyak korban aksi terorisme –dimana pelakunya kerapkali mengatasnamakan jihad– mengalami dampak berat: cacat fisik, kehilangan orang yang tersayang, kehilangan pekerjaan, dan sebagainya. Korban-korban tersebut secara kemanusiaan mempunyai kesempatan untuk membalas, namun faktanya mereka tidak membalas. Lebih dari itu, sebagian mereka justru memaafkan atas apa yang dilakukan oleh para pelaku. Ini fakta. Artinya perdamaian bukan sesuatu yang fiktif, namun bisa terwujud melalui pendidikan dan pengalaman hidup yang dipelajari.
Mempersiapkan Generasi Terpilih
Kemudian, selain Iman sebagai konsep dasar, tarbiyah silmiyah juga memerlukan fondasi agar bisa diamalkan dengan baik oleh generasi dan kelompok yang baik pula. Hal ini didasarkan bahwa perubahan besar dalam sebuah peradaban pasti dipelopori oleh generasi hebat dan terpilih. Pada poin ini kita bisa mengadopsi bagaimana Rasulullah Saw membina generasi Islam pertama, yaitu para sahabat. Beberapa literatur menyebutnya sebagai generasi rabbani, generasi yang sangat kuat dari segi mentalitas, mental yang memiliki iman yang hebat serta tidak terpengaruh oleh sesuatu yang bersifat keduniaan.
Baca juga Tarbiah Perdamaian (Bag. 1)
Beberapa pokok tarbiyah/pendidikan yang menjadi fondasi dalam membentuk generasi rabbani di antaranya selalu berpegang kepada Al-Quran dan Sunnah. Membangun tarbiyah silmiyah harus didasarkan pada pokok-pokok yang bersifat rabbaniyah tersebut. Karena sifat ini menjadi dasar dalam mewujudkan keadilan dan perdamaian di antara manusia dan menanamkan nilai ilahiyah dalam kehidupan manusia. Praktik ini sudah terbukti di mana Nabi Muhammad Saw memimpin dengan penuh keadilan dan perdamaian.
Fondasi berikutnya dalam membina generasi rabbani adalah dengan memurnikan dakwah dari segala kepentingan dunia dan sesuatu yang tidak kekal. Jika dikatakan perdamaian adalah misi dakwah, maka sudah seharusnya murni dari kepentingan dunia. Maknanya adalah bahwa perdamaian bukan seperti mekanisme dagang, di mana segala sesuatu didasarkan pada untung rugi sesaat. Namun harus didasarkan kepada keikhlasan.
Baca juga Tarbiah Perdamaian (Bag. 2)
Hal ini memang akan berdampak pula pada keuntungan-keuntungan duniawi, namun bukan menjadi tujuan utama. Jika perdamaian terwujud maka kita akan mudah dan nyaman menjalankan aktivitas sehari-hari, termasuk ritual peribadatan yang bernilai ukhrawi.
Generasi rabbani harus memiliki fondasi penting lainnya, yaitu karakter kesabaran dan saling memaafkan. Dua karakter ini akan membentuk pribadi yang kuat dan sangat relevan dalam membangun perdamaian. Memaafkan adalah kata kerja yang mempunyai efek untuk melunturkan egoisme dalam diri manusia. Rasulullah Saw mengajarkan kepada umatnya untuk saling memaafkan. Bahkan lebih dari itu, memaafkan menjadi bagian paling beradab dalam proses peradilan pidana Islam.
Baca juga Tarbiah Perdamaian: Berakhirnya Kekerasan (Bag. 3-Terakhir)
Sementara sifat sabar menurut Abdullah Azzam (2013) adalah separuh dari agama (dien). Di mana ia memiliki kedudukan seperti kepala dalam tubuh manusia. Sebagaimana tidak ada jasad tanpa kepala, maka tidak ada agama tanpa sabar. Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadis yang menjelaskan pentingnya sabar. Seseorang tidak mungkin naik ke sisi Rabb-nya kecuali mereka yang sabar dan bersyukur. Sabar dapat membuka jiwa untuk dapat menerima isyarat-isyarat dari alam kehidupan sehingga orang bisa berpikir jernih. Sabar juga dapat membuka hati untuk menerima makna-makna kebenaran dan melangkah di atas jalan kebenaran tersebut.
Salah satu jenis sabar adalah sabar dalam menaati perintah Allah Swt. Ibnu Taimiyah mengatakan, sabar jenis ini lebih besar kedudukannya dibanding sabar terhadap maksiat. Karenanya membutuhkan kemampuan dan kemauan yang kuat. Sebagai contoh, seseorang bersabar untuk tidak melakukan balas dendam/kekerasan kepada orang lain dengan dasar ketaatan kepada Allah Swt. Walaupun secara hukum ia telah dizalimi, bahkan dengan cara kekerasan. Kesabaran ini menempati kedudukan tinggi dalam peradaban manusia.
Baca juga Ketangguhan Mental Modal Kebangkitan
Peradaban yang sangat bernilai dalam kehidupan adalah perdamaian. Kita tidak akan bisa melanjutkan perdamaian tanpa pemaafan dan kesabaran. Perdamaian bukanlah sesuatu yang bersifat taken for granted, melainkan habitus yang harus diupayakan. Manusia baru akan menghargai pentingnya perdamaian jika kehidupan ini dipenuhi kekacauan. Aksi kekerasan terjadi di mana-mana. Hal yang lebih memprihatinkan tentu saja kondisi peperangan.
Dalam buku Tarbiyah Jihadiyah, Abdullah Azzam menulis bahwa pembinaan yang dilakukan Rasulullah Saw pada generasi pertama sahabat adalah dengan membangun Qaidah Shalabah (kelompok inti). Pembinaan ini dilakukan dalam waktu yang sangat panjang dan diisi dengan materi dan program yang bersifat rabbaniyah tersebut tadi, sehingga menghasilkan tokoh-tokoh yang berkualitas. Artinya ide tentang perdamaian harus dijalankan oleh sebagian kelompok individu, kelompok ini nantinya akan menyebarkan ide tersebut sehingga perdamaian dapat dirasakan oleh seluruh manusia.
Baca juga Mengelola Fenomena Clicktivism
Membangun kelompok inti ini bisa dilihat dari pengalaman Aliansi Indonesia Damai (AIDA) yang membentuk Tim Perdamaian, yang terdiri dari unsur korban aksi kekerasan dengan mantan pelaku kekerasan, kedua pihak mau membuka diri, saling memahami, bersabar atas apa yang telah menjadi ketentuan Allah Swt, dan kemudian bermaafan. Langkah berikutnya mereka mendakwahkan kepada orang lain tentang pentingnya sebuah perdamaian.
Harapan Berakhirnya Kekerasan
Pada akhirnya, ide utama tarbiyah silmiyah adalah harapan bahwa perdamaian dapat menggantikan kekerasan. Cara-cara kekerasan harus berakhir (the end of violence). Perubahan tatanan sosial kemanusiaan saat ini harus dimenangkan dengan hati. Untuk apa hati diciptakan jika fisik (kekerasan) jadi pilihan.
Sejarah menggambarkan betapa kekerasan menjadi dilematis. Di satu sisi kemenangan politik mungkin bisa diraih, namun di sisi lain melahirkan banyak problem kemanusiaan. Era modern yang menjunjung tinggi hak asasi manusia harus berkorelasi dengan tindakan manusia sebagai cerminan individu yang beradab.
Baca juga Perdamaian dari Akar Rumput
Bagaimana tarbiyah silmiyah ini bisa diwujudkan menjadi ide yang diminati? Sebelum masuk pada tahap tersebut, kita perlu menyadari bahwa melawan kekerasan tidak bisa hanya dihadapi dengan konfrontasi kekerasan pula. Namun lebih dari itu, fenomena tersebut kini dimainkan dalam ruang komunikasi meliputi ide, nilai-nilai, dan persepsi. Kita sadar bahwa dengan menangkap dan membunuh pelaku kekerasan bukanlah strategi yang manjur. Sementara mereka terus merekrut, melatih, dan menyebarkan paham-paham tersebut.
Melihat fakta tersebut, penulis mencoba memberikan tiga gambaran normatif sehingga ide perdamaian memungkinkan untuk diwujudkan. Pertama, ide tentang perdamaian harus dilakukan dalam bingkai “influence warfare”, yaitu perang untuk membujuk berbagai targetted audience/elemen masyarakat yang berbeda untuk bersatu dan berdialog.
Baca juga Keniscayaan Perdamaian
Jika perang ide adalah medan tempur yang paling penting, bisa dikatakan bahwa ide perdamaian masih tertinggal dibandingkan dengan ide tentang kekerasan. Karena jangkauan kelompok-kelompok kekerasan ini mampu mencapai jauh di atas jangkauan operasionalnya, dibantu dengan berbagai macam platform media sehingga dapat tersebar ke segala penjuru dunia. Sebagai contoh, kekerasan yang terjadi di Suriah dan Irak bisa dilakukan di belahan negara mana pun, termasuk Indonesia. Walaupun mereka tidak saling berinteraksi secara fisik ataupun pendanaan.
Kedua, ide perdamaian dapat diwujudkan menjadi aksi yang disyariatkan untuk merobohkan ide kekerasan. Karena itu harus disampaikan dengan jelas dan dipahami dengan baik bahwa perdamaian adalah bagian dari syariat Islam. Walhasil kita mempunyai kedudukan yang sama dalam mengemban dakwah tersebut, hal ini didasarkan pada tugas utama dari para nabi diutus adalah untuk menjaga dien/agama/syariat, sedangkan tujuan dari dien adalah perdamaian itu sendiri.
Baca juga Arif Menyikapi Bencana
Ketiga, salah satu bentuk ide adalah dengan narasi. Narasi perdamaian harus sekuat narasi tentang jihad (dalam arti perang) itu sendiri. Karena dasar perang ide adalah tentang siapa yang mempunyai narasi yang lebih kuat dan membuatnya efektif. Kita bisa melihat bagaimana ide-ide jihad Abdullah Azzam menjadi magnet kuat bagi umat Islam diluar Afghanistan untuk bergabung bersama pejuang-pejuang ketika itu.
Salah satu definisi narasi adalah garis kisah yang memaksa dan yang bisa menjelaskan peristiwa secara meyakinkan. Darinya kesimpulan bisa ditarik. Narasi bersifat strategis karena ia dirancang dan dipelihara untuk menyusun respons pihak lain terhadap peristiwa yang sedang berkembang (Lawrence Freedman, The Transformation of Strategic Affairs, 2006).
Sifat dari narasi bisa mengekspresikan sense of identity dan sense of belonging, serta mengomunikasikan sense tersebut atas alasan, tujuan, dan misi. Narasi perdamaian bisa menjadi sumber daya yang kuat untuk memengaruhi audiens, karena menawarkan bentuk alternatif dari rasionalitas yang berakar kuat dalam budaya dan keilmuan Islam.
Baca juga Mendakwahkan Akhlak
Tarbiyah Silmiyah dibangun dengan narasi di atas tradisi Islam, mencocokkan dan mentransformasikan elemen-elemen kunci dari Al Quran dan sunnah Nabi Muhammad Saw. Ide perdamaian harus memberikan tampilan yang unik, justifikasi yang jelas, serta menunjukkan ketidakrapuhan. Setiap “serangan” dari ide kekerasan terhadap ide perdamaian bisa digambarkan sebagai “serangan” pada Islam.
Terakhir, ide tarbiyah silmiyah bukan untuk merusak kredibilitas dan citra jihad, namun untuk memisahkan jihad dari oknum-oknum yang justru merusaknya. Jika kredibilitas dimaknai sebagai hasil dari kesesuaian antara kata dan perbuatan, maka oknum tersebut justru yang merusak kredibilitas jihad. Sehingga dampaknya adalah lemahnya legitimasi jihad yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis sebagai ibadah yang mulia.
Baca juga Berjihad Mesti dengan Ilmu